Rabu, 23 Maret 2011

Jalur Pendakian Gunung Ciremai Lewat Palutungan..

Gunung Ciremai, gunung tinggi di Jawa Barat, di wilayah Kuningan adalah gunung yang berbatasan langsung dengan laut, jadi jika mendaki Ciremai, benar - benar ukuran mdpl yang sesungguhnya. Banyak jalur pendakian menuju Ciremai, tetapi kali ini jalur Palutungan akan kami ketengahkan. Dimulai dari Basecamp menuju Cigowong atau pos 1.

Basecamp - Cigowong

Jalur antara basecamp menuju cigowong relatif masih mudah. Jalanan masih landai, track bervariasi, kadang lebar kadang menyempit, namun jelas. Yang perlu diperhatikan adalah banyaknya persimpangan spanjang jalur ini. Namun tidak perlu khawatir, banyak penunjuk berupa plang - plang yang menempel di pohon - pohon. Perjalanan menuju cigowongmemakan waktu rata - rata 2 jam, dengan kecepatan normal. Jalur dibuka dengan melewati ladang-ladang penduduk, begitu memasuki pintu rimba, pendaki akan melewati semak - semak yang cukup rimbun. Kondisi hutan sepanjang jalur didominasi hutan homogen pinus dan pohon - pohon besar, suasana cukup teduh. Jalur relatif bersih kecuali di beberapa sheltersebelum cigowong, sampah sisa pendaki cukup banyak.

Cigowong adalah sebuah shelter yang luas, bisa memuat puluhan tenda. Kondisi shelter ini cukup nyaman, banyak pohon besar yang rimbun dan terdapat sumber air berupa sungai kecil, yang terus mengalir walau kemarau tiba. Ketinggian tempat ini 1450 mdpl. Dianjurkan untuk mengambil air di sini, karena cigowong adalah sumber air terakhir, sepanjang jalur menuju puncak tidak ada lagi sumber air, mungkin hanya mata air - mata air temporari seperti di Gua Walet.

Cigowong - Kuta

Pendaki membutuhkan waktu kurang dari setengah jam untuk melahap jalur ini. Jalur didominasi oleh hutan heterogen yang cukup rimbun, banyak pohon - pohon besar, kondisi jalur cukup jelas dan basah. Tidak banyak persimpangan. Pejalanan cukup melelahkan, disebabkan oleh trek yang mulai menanjak. Kondisi lingkungan cukup bersih. Kuta berada pada ketinggian 1575 mdpl, Shelter ini cukup luas, bisa memuat dua tenda pendaki ukuran 4 - 5 orang.

Kuta - Pangguyangan Badak

Memakan waktu sekitar 45 menit. Jalur bervariasi, kadang landai, kadang menanjak habis-habisan. Kanan - kiri jalur berupa jurang yang cukup curam. Kondisi jalur cukup bersih, namun seperti biasa, di shelter - shelter sebelum Pangguyangan Badak sampah lumyan banyak. Jalur lebar, ada persimpangan, namun ada keterangan jelas mengenai jalur yang benar. Biasanya terdapat plang penunjuk arah atau jalur yang salah ditutup kayu. Pangguyangan Badak adalah shelter yang cukup luas, cukup untuk mendirikan 8 hingga 10 tenda. Tempatnya cukup terbuka, perlu waspada terhadap pacet. Ketinggian pada pada plang adalah 1800 mdpl.

Pangguyangan Badak - Arban

Jarak Pangguyan Badak menuju Arban cukup jauh, memakan waktu 1 jam lebih. Cukup menguras tenaga, jalur mulai menanjak konstan. Pendaki perlu berhati - hati, banyak pohon tumbang dan akar - akar pohon yang muncul liar. Bila diperhatikan secara seksama, akan terdengar suara sungai yang bersal dari lembah di kanan jalur. Jalur cukup jelas namun basah, ciri khas gunung - gunung di Jawa Barat. Arban berada di ketinggian kurang lebih 2000 mdpl. Menurut kabar burung, tempat yang berkapasitas 3 - 5 tenda ini, cukup angker. Dilarang berbicara sembarangan di sini.

Arban - Tanjakan Asoy

Seperti namanya, jalur ini benar - benar assoy, tanjakannya menggila, liar, buas, tak berujung. Kondisi jalur cukup jelas, bervariasi terkadang cukup lebar, kadang menyempit. Dihiasi oleh hutan yang merimbun dan heterogen. Jalur pendakian relatif bersih dari sampah. Tanjakan assoy adalah tempat yang cukup luas, cocok digunakan untuk bemalam. Tempatnya luas, cukup untuk mendirikan 4 - 6 tenda sekaligus. Ketinggian 2108 mdpl.

Tanjakan Asoy - Pasanggrahan

Memakan waktu hampir 1 jam. Perjalanan sangat sangat menguras tenaga sekali. Jalur terus menanjak tampa ampun, meski cukup jelas dan minim persimpangan. Pendaki perlu berhati - hati, jalur cukup basah dan akan menjadi sangat licin bila hujan datang. Pasanggrahan bisa memuat sekitar 4 - 5 tanda. Dulu terdapat plang atau papan nama yang menunjukkan tempat tersebut adalah pasanggrahan, tapi sekarang telah tumbang. Tanda medan yang tersisa adalah pohon tumbang di tengah shelter.

Pasanggrahan - Goa Walet

Jalur tanpa toleransi, tidak ada pilihan lain selain jalan menanjak. Didominasi oleh batuan-batuan besar dan sisa - sisa lava yang membeku. Perlu kehati-hatian. Vegetasi mulai berubah, tumbuhan mulai jarang. Terdapat persimpangan di ujung jalur, nila turun ke kanan menujugua walet, bila jalan terus ke atas, akan sampai di puncak. Di Goa Walet terdapat mata air yang bersifat angin - anginan, bila musim hujan tiba, air cukup melimpah, namun jadi kering saat kemarau. Merupakan tempat yang ideal untuk ngecamp. Terdapat bentukan gua yang cukup dalam. Di depan gua ada area yang cukup luas, bisa memuat lebih dari 8 tenda. perjalanan memakan waktu kurang dari 1 jam. Bila berjalan sedikit lagi ke atas pendaki akan bertemu satu pertigaan lagi. Merupakan pertemuan antara jalur maja ( majalengka ) danPalutungan. Bila ingin ke Majalengka, ambil jalan turun di sebelah kiri jalur.

Goa Walet - Puncak

Jalur menuju puncak didominasi oleh batu - batuan terjal dengan tanjakan yang curam. Vegetasi, pepohonan, mulai langka. Batas vegetasi menjadi jelas. Dari Goa Walet menuju puncak Ciremai dapat ditempuh dalam waktu setengah jam. Puncak gunung Ciremai menawarkan pemandangan yang memukau mata. Kaldera yang luas dengan kawah biru di tengahnya. Bentukan kawah terdiri dari batuan vulkanis dan sisa - sisa lava yang membeku hasil letusan masa lalu. Dari puncak Ciremai, bila tidak ada kabut, kita dapat menyaksikan kemegahan gunung Slamet, Sindoro, dan Sumbing di ufuk timur serta garis pantai Cirebon yang melengkung cantik.

Terdapat beberapa ruang yang cukup lapang, bisa digunakan untuk membuka tenda. Namun tidak dianjurkan untuk bermalam di puncak. Angin cukup kencang dan suhu yang teramat dingin dapat mengakibatkan hal - hal yang tidak diinginkan terjadi. Di puncak Ciremai terdapat banyak sekali ”in Memoriam ”, untuk mengenang dan menghormati para pendaki yang meninggal di sana. Ketinggian 3078 mdpl. [bi/nr]
seruu.com

Puisi Perpisahan Sebelum Maut Di Puncak Gunung Semeru..

Idhan Dhanvantari Lubis adalah juga legenda serta tokoh pendakian yang mana kala itu meninggal di Puncak Semeru bersama Soe Hoek Gie pada tanggal 16 Desember 1969. Selama ini, memang tentang dia jarang terlihat di bicarakan dikalangan pendaki gunung, karena ketokohan Soe Hoek Gie yang terlanjur sangat melegenda. Tetapi syukurlah, Idhan Lubis tak terlupakan begitu saja.

Idhan Lubis anak kedua dari pasangan Bachtar Lubis dan Kusrahaeni, dengan kakak kandung Idhat Lubis dan dua orang adik Piet Bachtari Lubis dan Poeng Wiyata Indra Lubis dan juga keponakan dari seorang jurnalis dan pengarang terkenal di Indonesia yaitu Mochtar Lubis.

MENGAPA MENUJU SEMERU?

Sebuah kisah dari legenda Mahabarata, yaitu saat perang Bharatayuda, dimana Pandawa Lima pulang ke Surga melalui Arcopodo sebuah gerbang yang dikawal Dewa Kembar, pintu masuk surga dilangit Mahameru. Arcopodo sendiri adalah nama salah satu lokasi yang berada di gunung Semeru, lokasi untuk menuju puncak Mahameru. Idhan Lubis sangat paham benar dengan legenda Mahabarata itu. Oleh karena itu Almarhum mempunyai target untuk mendaki gunung tersebut. Di pertengahan tahun 1968 Idhan bersahabat dengan Herman O. Lantang seorang anggota Mapala Universitas Indonesia. Dengan Herman itulah Idhan diajak untuk mendaki gunung Semeru bersama - sama dengan anggota Mapala UI. Saat pendakian itu Idhan baru berusia 20 tahun dan masih menjadi mahasiswa di Universitas Tarumanegara.

PUISI PERPISAHAN MENJELANG MAUT DI SEMERU

Idhan Dhanvantari Lubis, pemuda tampan yang tenang dan serius itu seakan - akan telah mempunyai firasat akan ajalnya yang sudah dekat. Sebelum melakukan perjalanan mendaki puncak gunung Semeru, almarhum Idhan Lubis pergi ke Bandung. Selain mengucapkan ” Selamat Lebaran ”, Idhan Lubis juga minta diri, menyampaikan salam ’berpamitan’ kepada semua keluarganya di Bandung itu. Hal semacam itu tak pernah dilakukan Idhan sebelumnya, bahkan orangtua Idhan biasanya jarang diberitahukan bila akan mendaki gunung. Hari - hari menjelang keberangkatan ke Jawa Timur tanggal 13 Desember, jalan telah dipenuhi ’isyarat - isyarat’ Idhan tentang Puncak Arcopodo Semeru tersebut. Sampai - sampai dalam tidur pun, Idhan mengigau tentang gunung Semeru. Idhan menyebut ’Rocopodo’ suatu nama tempat di puncak gunung Semeru itu dalam mimpinya. Hal ini didengar oleh saudaranya suatu malam dengan keheranan. Sehari - hari, Idhan tak hentinya menulis - nulis dan mencoret nama ’Mahameru’, ’puncak Semeru’, dan sebagainya dimana saja ada kesempatan.

Pada suatu petang tanggal 8 Desember 1969 di rumahnya di Polonia, Idhan Lubis menulis sebuah sajak yang ditujukan kepada sahabatnya Herman O Lantang. Puisi Idhan Lubis yang ditulisnya delapan hari sebelum meninggal dunia itu berjudul ”Djika Berpisah”, yang selengkapnya sbb:

Pro: Herman O. Lantang
Djika Berpisah

Di sini kita bertemu, satu irama
di antara wadjah2 perkasa...
tergores duka dan nestapa,
tiada putus asa
tudjuan esa puntjak mendjulang di sana


Bersama djatuh dan bangun
di bawah langit biru pusaka...
antara dua samudra...
Bersama harapanku djuga kau
satu nafas
kita jang terhempas
pengabdian... dan... kebebasan...


Bila kita berpisah
kemana kau aku tak tahu sahabat
atau turuti kelok2 djalan
atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan
hanja bila kau lupa
ingat...


Pernah aku dan kau
sama - sama daki gunung - gunung tinggi
hampir kaki kita patah - patah
nafas kita putus - putus
tudjuan esa, tudjuan satu:
Pengabdian dan pengabdian kepada....
...Jang Maha Kuasa ...

Dari : Idhan Lubis
Polonia, 8 Desember 1969.

” Soe dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa. Mereka jumpai jasad kedua tersebut sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Soe dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih. ”

Idhan Lubis dan Soe Hoek Gie menemui ajalnya pada 16 Desember 1969 di puncak Gunung Semeru akibat menghirup gas beracun. [bi/nr]seruu.com